Jumat, 16 April 2010

Penelitian

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional itu maka diperlukan penyelengaraan pendidikan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Selain itu, diperlukan pula penegakkan prinsip-prinsip dalam penyelengaraan pendidikan, di antaranya : pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat dan pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

Salah satu persyaratan agar proses penyelengaraan pendidikan dapat berlangsung secara efektif diperlukan kedisiplinan peserta didik baik dalam kehadiran maupun dalam keikut-sertaanya di proses pendidikan.

Berkenaan dengan kedisiplinan peserta didik diperlukan pembudayaan hidup disiplin pada diri peserta didik selain juga pemberian tauladan dari para pelaku pendidikan. Hal lain yang juga perlu dilakukan adalah upaya yang tidak kenal henti untuk selalu mengamati tingkah laku peserta didik.

Karena peserta didik adalah manusia yang memiliki beberapa kemampuan, kebiasaan, keinginan serta kecendrungan jiwa yang komplek pada dirinya maka sangat mudah dipahami jika di antara peserta didik itu melakukan tingkah laku yang menyimpang dari tingkah laku kedisiplinan yang dituntut. Jika peserta didik melakukan atau telah melakukan perilaku yang menyimpang dari standar disiplin yang dituntut, maka sudah seharusnya para pelaku pendidikan mengupayakan agar penyimpangan itu tidak berkelanjutan.

Dalam upaya pengubahan tingkah laku agar peserta didik tidak berkelanjutan melakukan tingkah laku yang menyimpang dikenal 2 (dua) model upaya pengubahan tingkah laku. Model pertama berbentuk pemberian hukuman (guilt), sedangkan model ke dua berbentuk mempermalukan/menumbuhkan perasaan malu (shameful).

Hasil penelitian yang telah dilakukan beberapa pihak menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan di sekolah-sekolah menengah atas hanya menerapkan metode pemberian hukuman dalam memodifikasi perilaku peserta didik.

Seperti hasil penelitian di atas, SMA Negeri 72 Jakarta menerapkan hukuman pemberian point terhadap penyimpangan perilaku yang telah dilakukan siswa-siswinya.


  1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini pada dasarnya mengkaji sebuah pertanyaan :"Bagaimana pengaruh hukuman pemberian point terhadap tingkat keterlambatan masuk sekolah siswa SMA Negeri 72 Jakarta."

  1. Tujuan Penelitian.

    Penelitian ini bertujuan, antara lain :

  2. Mengetahui sebab-sebab keterlambatan masuk sekolah siswa-siswa SMA Negeri 72 Jakarta.
  3. Mengetahui tingkat keterlambatan masuk sekolah siswa-siswa SMA Negeri 72 Jakarta.
  4. Mengetahui efektivitas hukuman pemberian point terhadap tingkat keterlambatan masuk sekolah siswa-siwa SMA Negeri 72 Jakarta.
  1. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat-manfat, di antaranya diperolehnya suatu evaluasi yang akurat terhadap pengaruh hukuman pemberian point dengan tingkat keterlambatan masuk sekolah siswa-siswa SMA Negeri 72 Jakarta.

Hasil evaluasi itu diharapkan menjadi salah satu bahan masukan untuk menentukan langkah-langkah perbaikan dalam menegakkan kedisiplinan siswa-siswi SMA Negeri 72 Jakarta.



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Teori Pendidikan.

Secara etimologi, pendidikan berasal dari bahasa Yunani yang bermula dari kata paedagogi. Paedagogi terdiri dari kata pae, yang berarti anak dan ago, yang berarti aku membimbing. Jadi paedagogi berarti aku membimbing anak. Seseorang yang bertugas membimbing anak dalam bahasa Yunani disebut paedagogos (paedagog).

Bermula dari ungkapan paedagogi di atas, pengertian pendidikan memiliki rumusan dan definisi yang beragam. Rumusan dan definisi tentang pendidikan, di antaranya dikemukakan oleh DR. MJ Langevels, Prof. Brojonegoro dan Mochtar Buchori.

  1. Pendapat DR. MJ. Langeveld.

Pendidikan adalah bimbingan/pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang sedang tumbuh untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sehingga tidak perlu bimbingan lagi. Langeveld berpendapat bahwa setelah anak itu dewasa dan cukup cakap mengatasi masalah-masalah hidupnya, anak tidak perlu dibimbing atau ditolong lagi. Jadi tujuan pendidikan menurut Langeveld adalah untuk mengantarkan anak menjadi dewasa dan mampu memecahkan kesulitan atau hambatan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

  1. Pendapat Prof. Brojonegoro.

Pendidkan adalah pemberian bantuan kepada manusia yang belum dewasa oleh orang yang telah dewasa dalam pertumbuhannya sampai terciptanya kedewasaan dalam arti dewasa jasmani dan rohani.

  1. Pendapat Mochtar Buchori.

Pendidikan dapat didefinisikan sebagai semua perjumpaan antara dua manusia atau lebih yang bertujuan untuk mengembangkan atau berdampak berkembangnya pendangan hidup, sikap dan keterampilan hidup pada salah satu atau ke dua belah pihak.

Dalam pengertian seperti ini, Mochtar Buchori menyamakan definisi pendidikan dan pengajaran. Namun jika hendak dibedakan, pendidikan dan pengajaran berbeda dalam hal tujuan. Pendidikan bertujuan untuk membentuk sikap moral sedangkan pengajaran lebih menekankan pada pemnbentukan sikap keterampilan, baik keterampilan intelektual maupun keterampilan fisik. Pendidikan mengacu kepada pembentukan moral yang berkaitan dengan perbuatan baik-tidak baik, perbuatan susila-tidak susila, perbuatan social anti sosial dan pembentukan rasa setia kawan serta pembentukan budi pekerti. Sedangkan pengajaran mengacu kepada pembentukan keterampilan sehingga seseorang yang telah mendapat pengajaran itu mampu cepat bertindak dan cepat menyelesaikan masalah berkat keterampilannya itu.


Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik, baik potensi fisik, potensi cipta rasa maupun karsanya agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dalam ungkapan lain, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.


  1. Teori Perubahan Perilaku dalam Konteks Teori Pendidikan.

Semua benda yang ada di dunia mengalami perubahan, meskipun dalam bentuk dan kadar yang berbeda satu sama lainnya. Benda mati seperti batu, besi dan benda-benda sejenisnya juga mengalami perubahan dalam waktu yang lama. Perubahan yang terjadi pada benda mati berbeda dengan perubahan yang terjadi pada makhluk hidup.

Perubahan yang terjadi pada manusia kondisinya sangat kompleks. Ini disebabkan karena manusia memiliki akal dan kemauan. Sehingga meskipun manusia merupakan bagian dari alam seperti halnya makhluk lain, tetapi manusia tidak begitu saja mengikuti aturan-aturan alam secara pasif namun juga berupaya mengubah kondisi alamiah menjadi kondisi yang dikehendakinya.

Sifat-sifat dan ciri-ciri perubahan yang terjadi pada manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan dari berbagai aspek sesuai dengan konteks bidang pengamat dan pengamatannya. Dari sudut psikologi, perubahan yang diamati pada diri manusia adalah perubahan perilaku (tingkah laku) yang dapat diamati (kasat mata).

Perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri manusia banyak sekali macamnya. Namun secara umum dapat dikatakan perubahan itu hanya kepada dua kecenderungan besar, yaitu perubahan ke arah yang positif dan perubahan ke arah yang negatif.

Karena adanya dua kutub perubahan manusia secara umum, maka atas keinginan dan usaha manusia yang bijak, diusahakanlah agar perubahan-perubahan yang terjadi pada diri manusia itu lebih dicondongkan ke arah yang positif. Itulah konsep perubahan tingkah laku. Konsep ini lebih tampak dalam dunia pendidikan. Konsep perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik dalam dunia pendidikan disebut belajar.

Di dalam dunia pendidikan, dikenal dua model upaya pengubahan tingkah laku. Model pertama berbentuk pemberian hukuman (guilt), sedangkan model ke dua berbentuk mempermalukan/menumbuhkan perasaan malu (shameful).

Dalam model pemberian hukuman seseorang yang melakukan perilaku menyimpang diberi hukuman sehingga timbul rasa bersalah, yang kemudian diharapkan timbul rasa malu sehingga mencegah orang tersebut mengulangi perilaku yang menyimpang.

Dalam model mempermalukan, seseorang yang melakukan perilaku menyimpang dikondisikan merasa malu melakukan perilaku menyimpang itu, yang kemudian diharapkan rasa malu itu mencegah orang tersebut mengulangi perilaku yang menyimpang.

Setiap masyarakat mengembangkan mekanisme sendiri-sendiri dalam upaya mengontrol dan mengendalikan perilaku anggota-anggotanya yang melakukan atau yang dianggap melakukan perilaku yang menyimpang. Jika penyimpangan perilaku tidak dapat diterima dan mengakibatkan kerugian atau mengganggu aktifitas orang lain, maka muncullah konsep penghukuman (punishment).

Pada awalnya, penghukuman dilakukan dengan paradigma retributive (pembayaran) dan merupakan reaksi langsung atas penyimpangan perilaku yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang. Paradigma retributive ini terlihat dalam semangat mengganjar secara setimpal berkaitan perbuatan dan atau efek dari perbuatan yang dilakukan.

Paradigma penghukuman kemudian muncul dengan semangat agar orang tidak melakukan perbuatan yang diancamkan. Dengan perkataan lain, penghukuman dilakukan dengan semangat menangkal (deterrence).

Perkembangan pemahaman mengenai kegunaan penghukuman sebagai instrument dalam rangka pengubahan tiungkah laku terlihat melalui munculnya paradigma rehabilitative. Paradigma tersebut melihat bahwa seseorang atau sekelompok orang yang melakukan penyimpangan tingkah laku pada dasarnya adalah orang atau sekelompok orang yang sakit, rusak, kekurangan, bermasalah atau memiliki ketidakmampuan sehingga melakukan penyimpangan perilaku tersebut. Oleh karena itu, melalui penghukuman, orang atau sekelompok orang tersebut pada dasarnya hendak diperbaiki atau disembuhkan dari kekurangannya. Seiring dengan perubahan paradigma tersebut, bentuk-bentuk penghukuman pun berkembang, bervariasi dan konon semakin manusiawi.

1 komentar: